Tragedi Mei 1998, Krisis Multdimensi Jelang Lengsernya Soeharto

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)- Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa yang terjadi di Indonesia pada bulan Mei 1998, dimana terjadi tindakan kekerasan, pembakaran, dan penghancuran toko dan bangunan  di sejumlah kota di Indonesia. Peristiwa ini dipicu oleh kondisi ekonomi yang buruk dan ketegangan antara kelompok etnis yang berbeda di Indonesia.

Kondisi ekonomi yang buruk pada saat itu menyebabkan kemarahan rakyat Indonesia, yang merasa bahwa pemerintah tidak cukup melakukan upaya untuk meningkatkan perekonomian. Hal ini menyebabkan munculnya tuntutan dari masyarakat untuk mengurangi pengaruh asing di Indonesia, khususnya dari Tiongkok. Pada saat yang sama, tuntutan reformasi politik juga semakin kuat di tengah masyarakat Indonesia.

Pada tanggal 12 Mei 1998, sebuah demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh Mahasiswa Universitas Trisakti digelar di Jakarta untuk menuntut reformasi politik dan ekonomi. Namun, demonstrasi tersebut berakhir tragis ketika enam mahasiswa tewas di bawah tembakan aparat . Insiden ini memicu kemarahan dan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat.

Dalam beberapa hari berikutnya, kerusuhan meletus di berbagai kota di Indonesia, termasuk Jakarta, Solo, Medan, dan Surabaya. Toko-toko dan bangunan milik warga  menjadi sasaran  dan banyak yang dijarah, dibakar, atau dihancurkan. Kekerasan dan kehancuran ini berlangsung selama beberapa hari, mengakibatkan banyak warga tewas atau terluka dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal dan penghasilan.

Kerusuhan Mei 1998 menjadi sebuah peristiwa yang sangat kontroversial di Indonesia. Beberapa kelompok masyarakat menyalahkan pemerintah dan partai politik tertentu karena terlibat dalam menyebarluaskan sentimen anti-Tionghoa, sementara yang lain mengkritik kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah ekonomi dan politik yang mendasari kekerasan tersebut.

 

Pada akhirnya, kerusuhan Mei 1998 membawa perubahan penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini menjadi salah satu faktor utama dalam runtuhnya rezim Orde Baru dan memicu pemilihan umum pada tahun 1999. 

 Krisis Multisektor

Seperti diketahui peristiwa Mei 1998 menjadi memori kolektif bagi masyarakat Indonesia secara luas, khususnya kalangan aktivis dan etnis Tionghoa di Indonesia. Krisis Moneter yang berkepanjangan menurunkan nilai rupiah pada 1997, berkembang menjadi krisis ekonomi lebih parah di Indonesia.

 Dikutip dari kompas.com, Berkembangnya krisis moneter menjadi krisis ekonomi tersebut, kemudian melahirkan krisis lain, yaitu krisis sosial dan krisis politik. Krisis di berbagai sektor tersebut kemudian kian meluas yang berakhir dengan aksi menuntut Soeharto untuk meletakkan jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia pada 1998.

 jika ditinjau sejak 1966 hingga 1996, menunjukkan tren kenaikan ekonomi yang positif. Pada 1966, pemerintah Indonesia bahkan dapat menekan angka kemiskinan yang semulanya sebesar 60 persen menjadi 11 persen. Hal ini juga dibuktikan dengan masuknya nama Indonesia bersama dua negara Asia Tenggara lainnya, dalam New Industrialized Economies (NIEs) yang dirilis Bank Dunia pada 1993. Namun, stabilitas ekonomi Indonesia mulai goyah pada 1997, tatkala pemerintah tidak mampu mengendalikan krisis moneter yang melanda Asia Timur dan Asia Tenggara.

Krisis moneter pada mulanya telah lebih dulu menyerang negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara, yaitu Thailand pada 1996. Di Indonesia, krisis moneter mulai tercium pada kisaran 1997. Krisis ini kian membesar menjadi krisis ekonomi nasional hingga sepanjang

 1998. Pada 1998, nilai tukar rupiah mengalami depresi akut mencapai angka 70 persen. Nilai tukar rupiah pada pertengahan bulan Juli 1998, berada di angka Rp 14.700 per 1 dolar US. Nilai tukar rupiah yang terjun bebas ini mengakibatkan inflasi tinggi di Indonesia. 

Sepanjang 1991-1996, angka inflasi di Indonesia hanya 8,1 persen, tetapi pada 1998 melejit di angka 77,1 persen. Ketidakmampuan pemerintah menekan inflasi menimbulkan permasalahan krusial dalam masyarakat Indonesia, termasuk mengarah kepada krisis sosial.

 

Krisis sosial Krisis sosial pada fase ini, pada dasarnya, disebabkan oleh masalah krisis ekonomi di awal yang tak mampu diselesaikan pemerintah Orde Baru. Akar permasalahannya terletak pada ketimpangan ekonomi yang terjadi antara masyarakat pribumi dengan keturunan etnis Tionghoa. 

Di tengah krisis ekonomi yang berlangsung tersebut, beredar informasi palsu yang mengatakan bahwa orang Tionghoa menimbun sembako. Selain itu, informasi liar itu juga mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa telah melarikan uang negara ke luar negeri. 

Kabar tersebut semakin diperparah dengan kondisi perekonomian masyarakat Tionghoa yang kala itu cenderung lebih stabil ketimbang pribumi. Atas dasar itu, beredar asumsi yang tak kalah liar tentang masyarakat Tionghoa yang dianggap sebagai penyebab musibah krisis ekonomi Indonesia. 

Lebih jauh lagi, beredar desas-desus liar yang memojokkan Tionghoa yang dianggap pro Soekarno dan komunisme. Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa kerap menjadi korban diskriminasi dan rasialisme dalam kemelut krisis ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia.

 Dalam beberapa catatan, masyarakat Tionghoa menjadi korban aksi kriminalitas oleh masyarakat pribumi, mulai dari penjarahan, pembakaran, kekerasan fisik, hingga pemerkosaan. Di berbagai kota besar, mulai dari Medan, Palembang, Jakarta, Solo, dan Surabaya, krisis sosial antara pribumi dan masyarakat keturunan Tionghoa berlangsung mencekam, khususnya pada 13-15 Mei 1998.

Merebaknya kedua krisis ini membuat para aktivis menuntut pemerintah Orde Baru secepat mungkin menyelesaikannya. Namun, kondisi tak kunjung membaik, bahkan justru semakin memburuk. Akhirnya, kondisi ini melahirkan krisis kepercayaan di masyarakat Indonesia terhadap pemerintah. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, aktivis, politikus, hingga buruh, menuntut Soeharto meletakkan jabatannya. Atas tuntutan tersebut, Soeharto menerima tekanan dari berbagai pihak.  Ia akhirnya mengumumkan mundur dari jabatan presiden Indonesia pada Kamis, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka. 

Kronologi Kerusuhan

Dikutip dari kompas.com, kerusuhan bermula dari kawasan di sekitar Kampus Trisakti, Jalan Daan Mogot, Jalan Kyai Tapa, Jalan S Parman. Menjelang sore aksi perusakan dan pembakaran meluas ke kawasan Bendungan Hilir, Kedoya, Jembatan Besi, Bandengan Selatan, Tubagus Angke, Semanan, Kosambi.  Perusakan dan pembakaran tak terhindarkan, sehingga langit Jakarta menjadi kelabu penuh asap.

Sepertyi diketahui pada tanggal 13 Mei hingga 15 Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998. Penyebab pertama yang memicu terjadinya Kerusuhan Mei 1998 adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997. 

 Saat itu, banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek besar juga dihentikan. Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia. 

 Dalam unjuk rasa tersebut, ada empat korban jiwa yang tewas tertembak. Mereka adalah mahasiswa Universitas Trisakti.  Tewasnya keempat mahasiswa tersebut pun menambah kemarahan masyarakat yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi. 

12 Mei 1998

Sekitar pukul 11.00-13.00, ribuan mahasiswa Universitas Trisakti melakukan aksi damai di dalam kampus. Setelah itu, mahasiswa mulai turun ke Jalan S Parman dan hendak berangkat ke gedung MPR atau DPR. 

-Pukul 13.15, para mahasiswa sampai di depan kantor Walikota Jakarta Barat.  Melihat segerombolan mahasiswa di depan kantor tersebut membuat aparat polisi menghadang laju mereka. 

 Setelah itu, terjadi perundingan antara pihak polisi dengan para mahasiswa. Kesepakatan yang dicapai ialah para mahasiswa tidak melanjutkan aksi unjuk rasa mereka ke MPR atau DPR. 15 menit setelahnya, pukul 13.30, para mahasiswa melakukan aksi damai di depan kantor Walikota Jakarta Barat.

Kondisi dan situasi saat itu dapat dibilang masih sangat tentang. Tidak ada ketegangan sama sekali antara pihak aparat dan mahasiswa.  Pukul 16.30, polisi mulai memasang garis polisi dan meminta para mahasiswa untuk memberi jarak 15 meter dari garis tersebut.

Tidak berselang lama, pihak polisi pun meminta agar mahasiswa kembali ke dalam kampus.  Tanpa ada ketegangan apapun, mahasiswa membubarkan diri dengan tenang dan tertib.  Namun, tiba-tiba terjadi tembakan dari arah belakang barisan mahasiswa.  Mendengar suara tembakan tersebut, para mahasiswa lantas berlarian dan berusaha menyelamatkan diri.

 Para mahasiswa berusaha berlindung dengan masuk ke dalam gedung-gedung kampus, sementara aparat masih terus menembakkan senapannya. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.

 Sekitar pukul 17.15, situasi di kampus sangatlah mencekam. Beberapa korban jiwa juga berjatuhan, salah satunya adalah empat mahasiswa Trisakti yang tewas karena tertembak. Keempat mahasiswa Trisakti tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendiawan Sie. 

13 Mei 1998

 Puku 01.30, dilakukan jumpa pers yang dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Selain itu, hadir juga Kapolda Mayjen Hamami Nata, Rektor Universitas Trisakti Prof Dr Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 10.00, mahasiswa dari berbagai kota, yaitu Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi berdatangan ke Universitas Trisakti untuk menyatakan belasungkawa.

Dua jam setelahnya, pukul 12.00, kerusuhan massa mulai terjadi di Jakarta.  Berbagai aksi perusakan dan pembakaran bangungan serta kendaraan bermotor terjadi.  Mulanya, kerusuhan terjadi di kawasan sekitar Kampus Trisakti, tetapi aksi perusakan dan pembakaran meluas hingga ke kawasan lainnya. 

14 Mei 1998

Aksi kerusuhan yang awalnya hanya terjadi di Jakarta mulai merambah ke kota-kota lainnya, seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi.  Pembakaran, perusakan, serta penjarahan toko dilakukan oleh massa.  Kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi saat itu sudah lumpuh total.

15 Mei 1998

 Presiden Soeharto yang mengetahu peristiwa Kerusuhan Mei 1998 bergegas kembali ke Tanah Air dari Kairo.  Waktu itu, muncul isu bahwa Presiden Soeharto bersedia untuk mundur dari jabatannya.  Akan tetapi, berita tersebut langsung ditampis oleh Menteri Penerangan Alwi Dahlan. 

Presiden Soeharto membantah bahwa ia bersedia mengundurkan diri.  Namun, jika kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soeharto sudah hilang, maka Presiden Soeharto bersedia untuk lengser dari jabatannya.  Akhirnya, seminggu kemudian, tepatnya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengalihkan kekuasaannya kepada BJ Habibie.

Angka resmi menunjukkan sebanyak 499 orang tewas dalam peristiwa Kerusuhan Mei 1998.  Selain itu, lebih dari 4.000 gedung juga hancur atau terbakar.  Kerugian fisik yang ditanggung oleh pemerintah Indonesia sendiri adalah sebesar Rp 2,5 triliun 

Peran Mahasiswa 

Seperti diketahui reformasi adalah tanda berakhirnya rezim Soeharto setelah menjabat sebagai Presiden Indonesia selama 32 tahun.

 

Era reformasi dimulai pada 1998, setelah Soeharto mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh BJ Habibie.

Proses lengsernya Soeharto sendiri tidak lepas dari peran mahasiswa pada masa Orde Baru, yang berlanjut hingga era Reformasi. Lantas, bagaimana peran mahasiswa dalam peristiwa Reformasi 1998?

Melakukan aksi demonstrasi

Pada 1997, Indonesia dilanda krisis moneter yang cukup hebat dan berkembang menjadi masalah ekonomi yang sangat serius. Alhasil, masyarakat semakin tidak puas dengan pemerintah dan kemudian memicu terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.

Puncak pergerakan mahasiswa pada masa Reformasi adalah saat sekitar 15.000 mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Soeharto, mengambil alih Gedung DPR/MPR, yang membuat politik nasional lumpuh.

Posisi Presiden Soeharto pun semakin terdesak akibat aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa.

Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto secara resmi menyatakan berhenti menjabat sebagai Presiden Indonesia di Istana Merdeka.

Pemerintahan Orde Baru pun resmi berakhir, dan digantikan era Reformasi yang dipimpin oleh BJ Habibie.

Mencetuskan 6 Agenda Reformasi 1998

Setelah Soeharto lengser, sejumlah mahasiswa dan rakyat menuntut adanya reformasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Dalam gerakannya, mahasiswa Indonesia menyampaikan beberapa tuntutan reformasi yang disebut sebagai 6 Agenda Reformasi 1998.

 

Berikut ini beberapa hal yang dicanangkan oleh mahasiswa untuk melaksanakan reformasi tahun 1998 yang tertuang dalam 6 Agenda Reformasi.

Mengadili Soeharto dan para pengikutnya

Melakukan amendemen UUD 1945

Melakukan otonomi daerah yang seluas-luasnya

Menghapus dwifungsi ABRI

Menghapus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)

Menegakkan supremasi hokum.***